di copas dari : http://www.beritaterheboh.com/2020/01/masalah-baru-bikin-sim-bila-pasal.html
Beritaterheboh.com - Mencabut frasa 'belajar sendiri' pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 77 Ayat 3 disebut berpotensi menimbulkan masalah baru dalam proses pembuatan Surat Izim Mengemudi (SIM) di Indonesia.
UU 22/2009 Pasal 77 ayat 3 berbunyi, 'Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.'
Berdasarkan peraturan itu, belajar sendiri merupakan satu dari dua syarat yang mesti dipenuhi calon pemohon SIM untuk memiliki kompetensi. Sedangkan syarat lainnya adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang bisa berupa kursus mengemudi.
UU 22/2009 Pasal 77 ayat 3 telah dimohon ke Mahkamah Konstitusi untuk menjalani uji materi oleh dua orang dari pihak kursus mengemudi di Depok, Marcell Kurniawan dan Roslianna Ginting.
Mereka menilai pasal itu bertentangan dengan pasal lain dalam peraturan yang sama, yakni Pasal 77 Ayat 1 dan Pasal 79 Ayat 1. Selain itu keduanya juga merasa frasa 'belajar sendiri' menjadi legitimasi masyarakat perlu mendapat materi kompetensi dari kursus mengemudi.
Bila 'belajar sendiri' dihapus, itu berarti semua orang yang ingin membuat SIM mesti mendapatkan ilmu kompetensi lebih dulu di kursus mengemudi. Harapannya, semua pemegang SIM di Indonesia bisa memiliki ilmu dan pemahaman yang sama soal berlalu lintas sehingga bisa mengurangi kecelakaan lalu lintas.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengungkap ada masalah yang bakal muncul bila 'belajar sendiri' dihapus yakni banyak bermunculan sekolah atau kursus mengemudi abal-abal.
"Tapi kalau ditetapkan gitu nanti akan banyak yang buka sekolah pelajaran menyetir asal-asalan tanpa ada kontrol dan standar. Itu pasti akan kesana," kata Agus melalui telepon, Jumat (31/1).
Di Indonesia saat ini disebut sudah banyak sekolah mengemudi yang di antaranya menawarkan jasa pembuatan SIM langsung jadi buat anak didik. Tapi dari pengamatan Agus, sekolah-sekolah mengemudi Indonesia jauh di bawah standar.
"Sekolah mengemudi sekarang banyak asal-asalannya. Penetapan soal sekolah itu sangat penting, karena SIM punya tapi tidak tau apa-apa soal jalan raya bagaimana nanti. Jadi sekolah harus benar-benar dan jelas kualifikasinya," kata dia.
Agus menyoroti masalah menerapkan standarisasi sekolah mengemudi tidak bisa sembarangan. Dia bilang sekolah mengemudi harus terakreditasi dan ada badan pengawasnya. Kemudian juga disebut mesti ada materi standar meliputi teori dan praktik mengemudi.
"Teori memahami rambu, terus kecepatan. Setelah itu tes lulus atau tidak mau berkali-kali ya sudah. Dan selanjutnya di lapangan bagaimana penegakan hukumnya," kata Agus.
"Jadi boleh saja ajukan gugatan. Tapi bagaimana persyaratan menjadi sekolah mengemudi dan itu lebih penting. Kalau saya setuju saja semua harus berbasis pelatihan tapi ya bisa amburadul juga," kata Agus kemudian.(Cnnindonesia.com)
Beritaterheboh.com - Mencabut frasa 'belajar sendiri' pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 77 Ayat 3 disebut berpotensi menimbulkan masalah baru dalam proses pembuatan Surat Izim Mengemudi (SIM) di Indonesia.
UU 22/2009 Pasal 77 ayat 3 berbunyi, 'Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.'
Berdasarkan peraturan itu, belajar sendiri merupakan satu dari dua syarat yang mesti dipenuhi calon pemohon SIM untuk memiliki kompetensi. Sedangkan syarat lainnya adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang bisa berupa kursus mengemudi.
UU 22/2009 Pasal 77 ayat 3 telah dimohon ke Mahkamah Konstitusi untuk menjalani uji materi oleh dua orang dari pihak kursus mengemudi di Depok, Marcell Kurniawan dan Roslianna Ginting.
Mereka menilai pasal itu bertentangan dengan pasal lain dalam peraturan yang sama, yakni Pasal 77 Ayat 1 dan Pasal 79 Ayat 1. Selain itu keduanya juga merasa frasa 'belajar sendiri' menjadi legitimasi masyarakat perlu mendapat materi kompetensi dari kursus mengemudi.
Bila 'belajar sendiri' dihapus, itu berarti semua orang yang ingin membuat SIM mesti mendapatkan ilmu kompetensi lebih dulu di kursus mengemudi. Harapannya, semua pemegang SIM di Indonesia bisa memiliki ilmu dan pemahaman yang sama soal berlalu lintas sehingga bisa mengurangi kecelakaan lalu lintas.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengungkap ada masalah yang bakal muncul bila 'belajar sendiri' dihapus yakni banyak bermunculan sekolah atau kursus mengemudi abal-abal.
"Tapi kalau ditetapkan gitu nanti akan banyak yang buka sekolah pelajaran menyetir asal-asalan tanpa ada kontrol dan standar. Itu pasti akan kesana," kata Agus melalui telepon, Jumat (31/1).
Di Indonesia saat ini disebut sudah banyak sekolah mengemudi yang di antaranya menawarkan jasa pembuatan SIM langsung jadi buat anak didik. Tapi dari pengamatan Agus, sekolah-sekolah mengemudi Indonesia jauh di bawah standar.
"Sekolah mengemudi sekarang banyak asal-asalannya. Penetapan soal sekolah itu sangat penting, karena SIM punya tapi tidak tau apa-apa soal jalan raya bagaimana nanti. Jadi sekolah harus benar-benar dan jelas kualifikasinya," kata dia.
Agus menyoroti masalah menerapkan standarisasi sekolah mengemudi tidak bisa sembarangan. Dia bilang sekolah mengemudi harus terakreditasi dan ada badan pengawasnya. Kemudian juga disebut mesti ada materi standar meliputi teori dan praktik mengemudi.
"Teori memahami rambu, terus kecepatan. Setelah itu tes lulus atau tidak mau berkali-kali ya sudah. Dan selanjutnya di lapangan bagaimana penegakan hukumnya," kata Agus.
"Jadi boleh saja ajukan gugatan. Tapi bagaimana persyaratan menjadi sekolah mengemudi dan itu lebih penting. Kalau saya setuju saja semua harus berbasis pelatihan tapi ya bisa amburadul juga," kata Agus kemudian.(Cnnindonesia.com)